Oleh : Indra Utama Putra
Senja telah pergi beberapa jam yang
lalu, kumandang adzan magrib mulai terdengar disekitar kompleks Nusa Tamalanrea
Indah. Aku bergegas mensucikan diri di depan air yang mengalir untuk
menghambakan diri kepada sang Khalik.
Magrib
telah berlalu kini waktu shalat isya pun telah tiba, aku kembali bersujud di
atas sajadah yang sudah bolong-bolong pemberian kakekku empat tahun silam,
waktu aku pertama kali datang ke kota daeng ini. Katanya sih sajadah ini
sajadah kesayangannya.
Malam
itu menunjukkan tepat pukul 20.00 aku menghubungi beberapa teman lama, namun
sayangnya tak satupun yang mengangkat teleponku. Sepertinya mereka lagi sibuk,
maklum karena semuanya aktifis. Misalnya Al-Munawir bergelut di Kesatuan Aksi
Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), Arif Busman bergelut di Persatuan Pers
Mahasiswa Indonesia (PPMI), dan masih banyak teman yang lain yang gak bisa
kusebutkan satu per satu.
karena
mulai bosan dari tadi ngacak-ngacak kontak di HP, tiba-tiba saja tanganku
berhenti pada sebuah nama teman perempuan yang dua tahun belakangan kukagumi yaitu
“Iin” yah itulah namanya, nama yang sangat indah seindah orangnya. Namun aku
tak pernah mengatakan perasaanku secara langsung. Rasa takut di tolak, malu
tidak diterima menjadi beban tersendiri dalam jiwa, “yah itulah aku yang belum
mencoba sudah kebayang-bayang kejadian buruk yang akan terjadi” komentarku
dalam hati. Aku lagi-lagi menarik napas panjang, tangan seakan gemetar untuk
menekan tombol call.
Akhirnya
ku beranikan diri untuk menekan tombol call
tersebut, tuuuuuuuttt......tuuuuuutt....tuuuuut.
“Halo,
Assalamu’ Alaikum”, ungkapnya
“Waalaikum
Salam” balasku dengan suara terbata-bata dengan pipi mulai seperti udang rebus
“Ada
apa Indra?”
“hmm
gak ada apa-apa, kamu lagi ngapain?”
“duduk
aja, Oh iya katanya ada yang mau kamu bicarakan?”. Beberapa hari yang lalu aku
pernah chatingan dengan Dia di Facebook, sepertinya dia masih ingat dengan apa
yang pernah saya bilang.
“Oh
itu”, lagi-lagi aku menarik napas panjang, lalu terdiam sejenak
“Apa?
Bilang saja”, Iin mendesak dengan nada penasaran.
“Ohh
iyya itu, tunggu...tunggu”, dengan jujurnya aku bilang, “ni lagi ngatur napas”.
Gak menunggu 2 detik mukaku terasa seperti udang rebus kembali ditambah dada
terasa sesak, jantungku pun berdetak lebih cepat dari biasanya, mulut seakan
ragu, gagu, dan bergetar saat mengeluarkan kata-kata. Setelah dua menit aku
terdiam dengan ucapan Bismillah akhirnya
kuberanikan diri untuk bicara, “ini.. aduh bagaimana memulainya yah? Bingung,,
ehh gini sebenarnya aku suka sama kamu, iyah aku suka sama kamu. Perasaan ini
tumbuh sejak dua tahun lalu saat kamu menghubungiku untuk mendaftar adik kamu
di kampusku, jujur sejak saat itu perasaan itu sudah ada, namun aku malu
mengatakan itu, tapi malam ini tanggal 15 Juli.
Tepatnya
malam minggu aku memberanikan diri untuk mengatakan perasaan yang selama ini
kupendam. Aku takut rasa ini akan menjadi racun dalam jiwa bila terlalu lama
kupendam.
“aku
tidak butuh jawaban kamu untuk terima atau tidak, bagi aku kamu tahu perasaanku
itu sudah lebih dari cukup. Tiba tiba diapun menyelah “terus gimana?”
“Ya
sudah gak usah di jawab, bagi aku kamu masih angkat telepon, balas sms itu
sudah cukup. Sekarang jalani saja seperti biasanya”. Ini konsep cinta sederhana, cinta yang luar biasanya nanti setelah
Tuhan menakdirkan aku dan kamu untuk berada dalam satu bahtera yang diberi nama
rumah tangga. Disana nanti akan aku berikan cinta yang luar biasa itu”,
“Terus
kenapa harus cinta biasa saat ini?” tanya Iin dengan penuh kebingungan.
“Kenapa
saya mesti mencintaimu dengan biasa?. Karena bila suatu saat nanti aku
kehilangan kamu, maka aku akan tanggapi dengan biasa. Cinta yang luar biasa itu
hanya untuk istri atau suami kita nanti”
Dia
terdiam, aku kembali melanjutkan pembicaraanku “ masih bisa toh saya hubungi
kamu besok malam?” dengan menghela napas Iin menjawab “iya bisa, kenapa mesti
bertanya gitu?” dengan nada kebingungan.
“gak
kok, siapa tau aja ada yang marah kalau aku keseringan hubungi kamu” kujawab
dengan mantap sambil tertawa kecil
“Gak
lah, siapa juga yang mau marah. Emang kamu salah mau dimarahi segala?” jawab
Iin dengan tertawa kecil pula
“oh
okelah kalau begitu” uangkapku mantap sambil senyum-senyum sendiri
Akhirnya
pembicaraan malam itu selesai juga. Hati terasa lebih baik daripada sebelumnya.
“Alhamdulillah lega rasanya perasaan
ini” bisikku dalam hati sambil tersenyum-senyum penuh arti
Malam-malam
terus berlalu, hari-haripun terus berlalu. Semenjak tanggal 15 Juli kemarin
hatiku tak lagi jenuh, kini semua terasa lebih berwarna dari pada
sebelum-sebelumnya. Hubunganku dengan perempuan yang sangat ku kagumi itu
semakin membaik.
Status kami berdua tidak bisa dikategorikan pacaran, namun
setiap kali ada waktu disela-sela pembicaraan aku selalu sempatkan mengucapkan
tiga kata “I love you”, kalau
dihitung mungkin sudah ratusan kali ku ucapkan. Namun tak pernah satu kalipun
kata-kata yang selalu ku ucapkan mendapat respon, melainkan hanya candaan “isst minta dihajar ya” Dia
selalu berkata sambil di barengi tawa kecil khasnya.
Pernah
satu kali aku bertanya dengannya “mungkin tidak, ada dua insan yang saling
mencintai dan mereka tau akan hal itu tetapi mereka tidak pacaran?, bila ada, salahkah
mereka melakukan itu?”. “tidak, maksudmu apa Indra?” jawabnya penasaran. “tidak
ada maksud apa-apa Iin” jawabku singkat
Semakin
sering berbicara dengannya semakin tumbuh rasa cinta itu. Aku berusaha untuk
tetap berkomitmen dengan kata-kataku. Pada akhirnya aku bisa simpulkan “biarlah cinta ini bersemi di ladang rindu
dan mekar di taman impian”. Aku yakin bila saatnya tiba dia pasti akan tau
betapa aku sangat mencintai dan menyayanginya lebih dari apapun. Tamat....
cinta membingungkan ini namanya.....hahahahahahhaa
BalasHapus